Oleh : H.M. Sitepu (Dosen dan Candidat Doktor Ilmu Pemerintahan)
Pilkada serentak 23 September 2020 ramai dalam perbincangan umum, baik di kedai kopi maupun di media sosial. Sesuai tahapannya, saat ini yang menjadi perbincangan baru pada kisaran bakal calon (Balon) Kepala Daerah, maupun Balon anggota legislatif., karena sejauh ini memang belum satupun yang ditetapkan jadi calon. Tentang Balon Kepala Daerah maupun Legislatif, yang banyak diperbincangkan adalah keterpenuhan syarat formal maupun non formal. Bahkan ada beberapa teman bertanya langsung kepada saya tentang adanya Balon ex koruptor, ex Kepala Derah yang pernah dimakjulkan atau Balon yang telah tersohor prilaku sosialnya tidak baik. Atas pertanyaan tersebut, saya hanya bisa menjawab secara singkat bahwa selagi persyaratan formalnya bisa dipenuhi, maka hal-hal di atas tidak bisa menghambat seseorang menjadi Balon, bahkan sampai calon, karena masalah yang disampaikan di atas merupakan syarat informal, yang hanya bisa dihambat oleh kostituennya sendiri pada saat di bilik suara nanti. Oleh karena itu opini sekali ini saya beri judul “Uji Nyali Kosntituen Pilkada”
Sengkarutnya Undang-Undang Pilkada
Sejak diundangkannya UU 10/2016 tentang perubahan kedua UU 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut UU Pilkada, calon kepala daerah yang berstatus tersangka tetap diakomodir sebagai peserta pemilihan. Regulasi Pilkada yang masih berlaku ini justru sangat longgar terhadap eksistensi calon yang berstatus tersangkai. Bahkan UU Pilkada ini melarang setiap calon untuk mengundurkan diri, begitupun parpol atau gabungan parpol dilarang menarik calonnya yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilihan (Pasal 53 ayat (1) UU Pilkada), dengan sangsi dapat dipidana (Pasal 191 dan Pasal 192 UU Pilkada).
Ketentuan tentang penggantian calon sebagaimana Pasal 78 PKPU 3/2017 juga tidak mampu mengatasi keberadaan calon yang berstatus tersangka ini, karena penggantian calon hanya dapat dilakukan dalam hal terjadi 3 (tiga) kemungkinan yaitu calon dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan, berhalangan tetap, atau dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Untuk ketentuan Pilkada tahun 2020 ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) mengenai pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada) 2020. yaitu PKPU Nomor 18 Tahun 2019 yang ditetapkan pada 2 Desember 2019. Menariknya, sejumlah syarat mengenai pencalonan dalam peraturan tersebut, tak satupun terdapat syarat tentang larangan mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon kepala daerah. Padahal sebelumnya KPU berencana untuk memuat larangan tersebut dalam PKPU ini. Entah apapun alasannya, nampaknya upaya KPU dan harapan rakyat untuk menjegal Calon peserta Pilkada dan Legislatif yang sudah tersangka bahkan sudah terbukti Korupsi, belum berhasil diundangkan meskipun sudah diupayakan berbagai cara termasuk peninjauan ulang ke Mahkamah Konstitusi.
Uji Nyali Para Konstituen
Persoalan regulasi Pilkada ini menjadi sangat krusial dalam penataannya, mengingat bahwa pencegahan terhadap timbulnya kejahatan, baik korupsi atau tindak pidana lain dilingkungan pemerintahan harus dilakukan sejak prosedur pengisian jabatan di pemerintahan. Tetapi berbicara mengenai calon Pemimpin/Kepala Daerah maupun anggota legislatif, sebenarnya penentu akhir adalah di tangan para Konstituen (orang yang berhak memilih), karena para Kosnstituenlah yang punya hak kekebalan yaitu Bebas dan Rahasia untuk memilih yang dia sukai atau yang dianggap paling layak. Setiap konstituen tidak ada berhak memaksanya untuk memilih atau tidak memilih diantara calon yang ada, dan hukum juga melindunginya jika merahasiakan siapa yang dia pilih saat di bilik suara.
Yang patut dipertanyakan, adalah sekebal apakah para konstituen terhadap money politic, terhadap serangan fajar (istilah menerima pemberian uang pada saat shubuh atau menjelang fajar pada hari H pemilihan), yang selama ini sudah sering dibuktikan keampuhannya oleh para calon. Jika para konstituen tidak mampu menahan diri untuk menerima money politic, maka akan besar peluang bagi ex Koruptor, atau ex pejabat yang pernah dimakjulkan sendiri akan menjadi pemimpin daerahnya karena merekalah yang punya uang lebih dari calon lainnya. Secara psikologi, pemimpin yang ex koruptor akan berpotensi besar untuk korupsi kembali, karena sudah lebih memahami pola-pola korupsi yang lebih baik dari pengalaman sebelumnya. Meskipun jika ditanya alasan ex koruptor maju kembali sebagai calon, biasanya akan diberikan alasan-alasan yang baik-baik, seperti misalnya : ingin memulihkan nama baik karena kasus yang dia alami sebelumnya adalah terjebak, atau karena tekanan politik, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu daripada berlulang kali mengajukan pengujian Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK), lebih baik menguji nyali kita sendiri selama lima menit di bilik suara nanti, apakah mampu dan berani untuk tidak memilih ex koruptor atau ex yang pernah didemo sendiri meskipun sudah atau belum menerima uang (money politic). Dan hasil akhir dari uji nyali tersebut nanti jika telah dilakukan perhitungan suara, apakah konstituen akan lebih bodoh dari keledai atau tidak, karena pepatah lama mengatakan bahwa “Sebodoh-bodoh Keledaipun tidak akan terperosok ke lubang yang sama”, atau jangan sampai para konstituen seperti pepatah kampung saya :”Pecat-pecat Seberaya, Pecatina Atena Ngena”.
Selamat menguji nyali mempertahankan kekebalan Bebas Rahasia.