Catatan bang Nas.
METRO ONE – Berjalan jalanlah di seputar areal perkantoran Pemerintah jelang Tahun Baru, Lebaran serta musim musim liburan lainnya. Banyak amplop amplop koyak bertaburan di tanah tanah, di sekitar jalanan, hingga terselip di senta senta kamar mandi umum. Amplop amplop koyak itu sudah tak berisi lagi, penerima kemungkinan tak sabar ingin melihat berapa isinya sehingga begitu diberikan sejurus kemudian ia koyak, isinya diambil, amplop koyak diserak dimana saja. Tak jarang ada pula tulisan pakai tulis tangan,..”Kepada Pak Bowo selamat Tahun baru”. Biasa juga lengkap dengan tulisan jumlah nominalnya di sudut kiri amplop
Amplop amplop koyak itu mencerminkan budaya suap, pemberian, gratifikasi, atau apalah julukannya, yang jelas adanya sebuah pemberian tentu terselip pesan disana. Bagi para pengusaha yang bergelut di dunia antah berantah, pekerja illegal, pemberian amplop kepada pejabat, kepada penegak hukum tentu punya arti tersendiri. Setidaknya pesan tak tertulis bermakna besar, pemberian amplop itu mengartikan..”jangan ganggu usaha saya, ni saya bagi ke anda sekedar tanda ingat”. Tapi ada pula pejabat yang memberikan amplop kepada para hulu hulu balang, kepada insan insan Pers, ato kepada anak anak Negeri yang punya payung bernama LSM, OKP atau ormas ormas lainnya, itu artinya mungkin jangan ribut ribut, diem dan duduk manislah di sana.
Ya..budaya amplop kerap terjadi di jelang akhir tahun, di hari jelang lebaran, atau bisa juga di waktu dan tanggal tanggal tertentu. Kapan dan di mana budaya amplop diberikan, pasti mengisaratkan pesan tersembunyi. Kebanyakan pejabat memang menghalalkan budaya amplop, terlepas apa makna di belakangnya.
Ada cerita menarik dikisah amplop kering Bang Jono. Bang Jono sedang pusing kepala. Seharian ia duduk bengong sambil menghabiskan berbatang-batang rokok yang didapatnya dari tetangga, upah dari siang kemarin meminta bantuannya memanjatkan kelapa.
Sebenarnya dia termasuk orang yang gak gampang pusing, gak gampang khawatir, apalagi gampang masuk angin, ndablek kata orang Jawa, apalagi dengan soal-soal yang terkait dengan dirinya sendiri. Dia merasa tidak ada yang diperjuangkan untuk dirinya, dia buta terhadap pemenuhan ego-ego pribadi, hidupnya sudah disedekahkan kepada masyarakat.
Kalau untuk masalah sosial, kepentingan-kepentingan umum, kebutuhan tetangga, sahabat atau kerabat, ia sangat bisa pusing kepala memikirkannya. Lebih pusing dari pada umpamanya dia tidak punya uang untuk beli secangkir kopi manis.
Ceritanya, jelek-jeleknya dia diangkat sebagai kader pemberdayaan oleh pak Kades. Soalnya bukan apa-apa, bukan sebab bang Jono ini orang yang paling qualified, paling tinggi ijasahnya atau paling berpengalaman dalam bidang peningkatan pemberdayaan masyarakat. Namun pilihannya adalah pragmatis “karena tidak ada orang lain yang mau menjadi kader”.
Beribu-ribu alasannya atau penangkalnya, dari sibuk dengan pekerjaan, tidak punya kemampuan, tidak PD, tidak mau ribet, dan berbagai alasan. Dan dalih yang paling banyak digunakan dan diam-diam disepakati pembenaran adalah karena memang menjadi kader pemberdayaan itu tidak marketable, tidak menghasilkan apa pun kecuali capek. Boro-boro menghasilkan uang, salah-salah malah dapat complain dari masyarakat, dan tambah pusing kepala karena tidak bisa mendapatkan lahan proyek basah. Yang paling krusial, jangan pernah bermimpi untuk member atau dapat kiriman amplop.
Namun karena bang Jono berpikir bahwa ini adalah untuk kepentingan masyarakat kampungnya, untuk kebaikan social dan untuk ia juga ingin belajar banyak pengetahuan dari bapak-bapak pinter yang pake seragam di pemerintahan Kecamamatan, maka bang Jono pun menyanggupi. Selain itu juga karena dia hanya satu-satunya calon tunggal, tidak ada pilihan lain. Ia pun kasihan melihat pak Kades yang pontang-panting cari orang yang mau. Mencari orang yang mau saja susah apalagi mencari yang mau dan mampu.
Itulah yang menyebabkan dia jadi miris, ternyata posisi pengabdian social, merupakan jabatan-jabatan yang kering, yang tidak ada amplop basahnya, tidak ada gajinya, tidak ada keuntungan finansialnya selalu saja tidak laku. Menjadi ketua RT, menjadi ketua paguyuban remaja masjid, ketua pengajian rutin selalu tidak pernah ada peminat. Jabatan-jabatan seperti itu tidak memiliki prestise apapun selain jadi bahan olok-olokan dan lempar lemparan tanggung jawab. Padahal menurut dia, kepemimpinan yang sejati itu adalah ketika memang dibuktikan tidak memiliki pamrih pribadi, khususnya motif untuk memperkaya diri dan keluarga. Tapi siapa orang yang percaya bahwa di zaman sekarang masih ada orang yang tidak nafsu dengan uang.
Teman temannya yang melihat kelakuan bang Jono yang tidak biasa, menjadi bertanya tanya, sehingga berduyun duyunlah mereka mendatangi untuk meminta klarifikasinya.
“Yah itulah masyarakat kita bang, sudah menghambakan uang, segala orientasi hidupnya adalah untuk mencari uang, bukan untuk memperbanyak kebaikan. Ente aja yang jadul pemikirannya!” kata Sartono Sarjana Ekonomi.
“Betul Jon, kowe iku yang ketinggalan kereta zaman, semua berlomba-lomba maju ke depan, kamu malah nyungsep di belakang, mikir sing ora-ora wae!!” timpal Dartono
“Saya itu sedih, kok perubahan budaya masyarakat itu sedemikian merosot drastis, dahulu orang kampung paling rajin bila diajak untuk melakukan gotong royong, gugur desa, atau sambatan membuat rumah tetangga. Namun sekarang, untuk mau dijadikan seorang kader saja tidak ada yang mau karena ogah capeknya dan ndak dapat duitnya.” kata bang Jono
“Kalau begitu, zaman ini yang katanya penuh kemajuan peradaban teknologi, tetapi dilain sisi malah menghancurkan nilai-nilai budaya luhur masyarakat, apa bisa disebut dengan kemajuan zaman? Kemajuan teknologi itu apakah lebih penting daripada kemajuan moral dan etika?” tambahnya lagi
“Loh, memangnya kamu itu sopo? Presiden? Wakil Rakyat? Pejabat? LSM? kok pedulinya pake mikir soal masalah masyarakat, mikir moral Negara, pusing ngeliat perubahan budaya!!. Mikir kamu sendiri aja ndak pernah beres, kok mau ngurus orang lain, apalagi ngurus masyarakat, dasar gendeng !!”
Itulah bang Jono, potret seorang abdi Desa yang tak mengharapkan kiriman budaya amplop, terlebih disaat saat para pejabat panen amplop di jelang jelang hari hari besar seperti tahun baru dan lebaran. Budaya amplop memang sudah membudaya, terlepas apakah pemberi dan penerima sama sama menikmati uang haram dan dosa…Yang indah itu ya “Sambatan” ikhlas, tak ada amplop yang diharap. (MO/REDAKSI)