Beranda OPINI W A R N A

W A R N A

259
0

Catatan bang Nas

Kehidupan penuh warna, seperti warna warni yang dipancarkan pelangi di langit cakrawala. Orang orang yang sendi kehidupannya berwarna, sering berkeluh kesah, menggedor gedor pintu langit untuk menyampaikan erang dan keluh kesah. Warna apa sebenarnya yang kita sukai?…Hari ini berwarna ungu, esok lusa kita ingin berubah jadi nila. Bosan dengan warna yang itu ke itu saja, ingin berganti ke warna norak dan lebih ngejreng. Hidup kita selalu labil, ingin selalu ada perubahan, sampai sampai  berubah dengan hidup tanpa warna.

Sifat dan  tifikal sebenarnya sudah ada dari bawaan lahir, tapi di tengah perjalan waktu, semua bisa berubah. Soal Pejabat yang doyan korup, cendrung jadi mafia apakah juga tergolong bawaan lahir dan memang itulah warna hidupnya..? Pejabat di Kantor BPN/ATR yang sekarang sudah jadi mafia sartifikat tanah misalnya, apakah warna hidupnya dari dulu itu merah..?. Oknum Dokter di Klinik Klinik tertentu yang melakukan aborsi, membunuh lusinan jabang bayi apakah juga bagian dari tifikal dan warna hidupnya kuning langsat..? Bupati Deli Serdang, Karo, atau Bupati di daerah mana saja misalnya, yang sebelum jadi Bupati masih baik baik, begitu terpilih drastis jadi koruptor, apakah juga tergolong tifikal dan warna hidupnya adalah Biru muda..? Orang yang sejak lahir sudah pakai celana, kaya raya sampai mati, atau orang miskin yang sejak lahir dan sepanjang hidupnya susah terus, warna apa sebenarnya  hidupnya..?

Soal warna memang susah dimengerti, apa lagi bagi orang yang buta warna, nanti kalau kita sedang melaksanakan pengajian, atau sedang mendengarkan Hotbah bagi umat nasrani coba tanya kepada pembawa pengajian atau pendeta pengkotbah. Apakah warna kehidupan itu bisa dirubah dan perlu sentuhan agar warna itu semakin lembut dipandang..?

Bagi seseorang yang ingin merubah nasib, ternyata tidak hanya untuk menjadi dermawan saja anda perlu modal, untuk menjadi manusia pelit juga butuh dana segar. Beberapa sahabat sering  ribut mempergunjingkan beberapa kawan yang makin kaya menjadi makin pelit, warna hidupanya bisa berubah. Ada yang memang berbakat pelit dari sononya, ada yang terpengaruh oleh suatu subkultur tertentu. Ada yang memang dikondisikan oleh rasa memiliki yang berkembang sesuai dengan bertambahnya kekayaan.

Ada kawan yang rumahnya seperti istana, tapi untuk beli sebuah bakul anyaman ia menawar secara amat militan seolah-olah sedang memperjuangkan nasib ribuan warga miskin di sekitarnya. Ia juga tidak punya rasa tersentuh atau keterharuan, ketika memandang bungkuk si penjual bakul anyaman.

Ada kawan yang kalau naik becak, melihat lihat si penarik becak yang sudah renta, menawar separoh harga secara tak wajar, sebaliknya ada juga yang tak segan  memberi dua kali lipat dari harga yang ditawarkan. Pelit ialah punya sesuatu yang sebagiannya bisa di-share, tapi ia memilih menyimpannya saja di kantong dalam. Kalau tak punya apa-apa lantas tak bisa ngasih apa-apa, itu bukan pelit. Jadi kalau ingin tidak pelit, yang paling aman ialah dengan tak punya apa apa.

Warna dari seorang dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana proses menuju kesembuhan, tapi mereka bukan pengambil warna keputusan. Untuk sembuh atau hak dan kuasa untuk menyembuhkan ada pada warna Allah. Terserah Tuhan mau bikin sembuh orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, tukang sol sepatu, Ponijo, Durahim, Dermawan, Gelandangan atau siapa pun dan apa pun saja.

Ada lagi warna dari seorang suami yang pergi lama tugas ke kota yang jauh sehingga bawa celana dalam istrinya.  Mohon jangan simpulkan bahwa warna hidupnya adalah penggemar celana dalam. Karena anda penasaran lalu anda coba rebut celana dalam itu untuk anda selidiki, apa dan mengandung zat-zat dan bebauan apa. Anda penasaran apa sebenarnya warna si lelaki itu  sehingga seorang tokoh besar tega teganya membawa bawa celana dalam istrinya  ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-ciumi celana dalam itu, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Sebenarnya yang diciumi oleh suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen kesetiaan diantara mereka. Dan itulah warna asli dari seorang suami itu, hijau muda

Teman saya seorang pemikir, bilang bahwa yang disebut nasib itu tidak ada, ketentuan Tuhan itu nonsens. Tidak ada sesuatu yang berasal dari sono-nya. Yang ada ialah sistem yang mengatur kehidupan manusia, yang dibikin oleh manusia itu sendiri, dan segala sesuatu adalah hasil atau akibat dari sistem itu. Warna masing masing orang itu dia sendirilah yang membuatnya.

Misalnya ada orang tertubruk truk itu bukan nasib sial. Itu terjadi karena adanya sistem transportasi modern. Atau tiba-tiba ada kawan yang meminjami uang ketika anda butuh, itu bukan kebetulan. Bukan fortune. Itu terjadi karena sejak semula manusia membikin sistem perhubungan sosial yang memungkinkan seseorang menolong lainnya. Saya pikir, betul juga, tapi juga tidak betul sepenuhnya. Jadi hidup ini disahami oleh usaha manusia dan juga ketentuan Yang Maha Kuasa. Itu memang ketentuan Tuhan, manusia diberi peluang untuk menggunakan otoritas sebatas kemampuannya. Ada garis nasib, dan ada ruang usaha manusia. Anda ditentukan oleh Tuhan untuk menjadi seorang lelaki normal, tapi bepergian anda ke praktek praktek lokalisasi dan mati dipelukan pekerja seks tentulah bukan kehendak Nya, itu adalah warna asli anda sendiri, abu abu. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here