Lanjung Pura | Metro One – Masyarakat Adat Tanjung Pura (MATA) laksanakan dialog budaya yang bertajuk Langkat Punya Sejarah Maret 1946, Rabu (03/03/2021) di Tanjung Coffee Tanjung Pura Langkat.
Hadir dalam kegiatan itu Zuriat Hamzah, Tengku Yans Fauzi bersama Tengku Kendy Hamzah sebagai Panelis. Drs.M.Sis Burhan, Wiwin Syahputra Nasution dan M.Saleh, SHi,MA untuk menjadi Panelis dalam kegiatan tersebut. Sedangkan Ibnu Hajar dan Muhammad Supawi dijemput sebagai Pemantik untuk mewarnai diskusi malam itu.
Tengku Yans Fauzi menjelaskan tentang kepeloporan Tengku Amir Hamzah untuk mendukung kemerdekaan Republik Indonesia dalam hal bahasa persatuan yang dipakai hingga sekarang yakni bahasa Melayu yang dikenal sebagai bahasa Indonesia.
Selain itu, Tengku Yans Fauzi menjelaskan bahwa generasi di jaman kesultanan Langkat sudah memiliki visi membangun Langkat, di Langkat sudah memiliki sekolah berkelas internasional berbasis agama yang bernama Makhtab Maslurah, Makhtab Aziziah dan Makhtab Mahmudiyah yang ada di Tanjung Pura. Selain itu, ada pula Makhtab Chalidiyah yang ada di Stabat dan Makhtab Mahmudiyah di Secanggang. Tak hanya Makhtab, Langkat juga punya Babussalam sebagai salah satu pusat pendidikan berbasis agama Islam sehingga visi membangun SDM nya jelas bahkan sudah Go Internasional.
“Akibat peristiwa kelam Maret 1946 yang menghancurkan tatanan peradaban Melayu di Langkat menyebabkan masyarakat Langkat tak mampu melampaui pendahulunya”, ungkap Tengku Yans Fauzi selaku Panelis dari Zuriat Hamzah
Selain itu, Drs. M.Sis Burhan menyebutkan saat terjadi peristiwa pembantaian pada Maret 1946 peran Dr.Amir yang menjadi pembelot dari kesultanan dengan propaganda daulat tuanku diganti dengan daulat rakyat sehingga terbentuklah satu barisan anti feodalis yang diprakarsai oleh Pesindo dan PKI. “Peristiwa Maret 1946 juga ada faktor kecemburuan antar suku pada saat itu”, ungkap Drs.M.Sis Burhan yang juga dijemput sebagai Panelis.
“Pemicu terjadinya pembantaian Maret 1946 juga dipicu akibat perampasan tanah adat Melayu Langkat yang saat itu dikontrak Perusahaan Perkebunan Belanda yang sampai kini masih terus terjadi”, lanjutnya lagi.
“Kemakmuran juga salah satu faktor pemicu, dulu orang Melayu tak diizinkan bekerja di perkebunan Belanda,”ungkapnya melanjutkan.
“Tidak semua suku pendatang yang ikut dalam pembantaian, banyak juga suku pendatang yang ikut berjuang dalam merebut Kemerdekaan,” jelasnya.
“Kalau dikatakan Revolusi sosial terlalu lembut, sebab itu pembantaian, banyak bangsawan Melayu yang melakukan pembantaian keluarga kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Timur,” pungkasnya.
Setelah berita ini dinaikkan, diskusi masih terus berlangsung hingga membelah malam (tim/ SYAH)